Ditulis Oleh Administrator
Selasa, 01 Juli 2008

Cadangan bahan bakar minyak terus menyusut. Diperkirakan 20 tahun lagi sumber energi ini akan terkuras habis. Karena itu, upaya menekan penggunaan bahan bakar fosil gencar dilakukan di banyak negara

Caranya, antara lain, dengan mengintroduksi sumber energi lain sebagai pendamping dalam sistem hibrid hingga suatu saat dapat menyubstitusi secara penuh bahan bakar minyak (BBM).

Penggunaan sistem hibrid telah lama diterapkan pada pembangkit listrik, yaitu mengombinasikan pembangkit listrik tenaga (PLT) diesel atau solar dengan energi surya dan energi angin.

PLT hibrid ini telah luas digunakan di pulau-pulau kecil dan daerah terpencil di Indonesia di kawasan tengah dan timur, antara lain di Nusa Penida (Bali), Pulau Bima (NTB), dan Rotendau (NTT).

Pada kendaraan bermotor, sistem hibrid diterapkan pada akhir 1980-an di taksi di kota Jakarta, dengan menggunakan dual sistem, memadukan BBM dan bahan bakar compressed natural gas (CNG). Sayangnya, penggunaan ini agak tersendat karena keterbatasan ketersediaan stasiun pengisian CNG.

Di negara maju, penggunaan sistem hibrid telah lama dirintis. Di Jepang, pada tahun 1977 Toyota memperkenalkan prototipe mobil sportnya yang menggunakan hibrid gas turbin. Dua puluh tahun kemudian, 1997, perusahaan otomotif ini meluncurkan tipe sedan dan bus yang menggunakan sistem hibrid, yaitu mesin kendaraan bermotor yang mengombinasikan penggunaan listrik dari baterai penyimpan dan mesin kendaraan yang menggunakan BBM.

Dengan sistem hibrid ini, penghematan dicapai melalui penggunaan listrik ketika mesin dalam keadaan statis dan direm. Sedangkan mesin diaktifkan saat kendaraan dipercepat lajunya.

Dengan mesin hibrid, penggunaan bahan bakar bisa mencapai 1 : 25, sedangkan dengan mesin konvensional 1 : 10 hingga 12 atau lebih dari dua kali lipat.

Sejak tahun 1997 hingga 2007, penjualan kendaraan hibrid telah mencapai sekitar 1,5 juta unit di seluruh dunia. Ditargetkan, tahun 2010 jumlahnya akan mencapai 1 juta kendaraan hibrid per tahun. Pada 2020 semua tipe kendaraan produksi Toyota Motor Corporation (TMC) telah memakai sistem hibrid.

Pada Toyota Environment Forum (TEF) 2008 di Tokyo, 11 Juni lalu, President TMC Katsuaki Watanabe mengatakan, teknologi hibrid akan terus dikembangkan penerapannya pada semua tipe kendaraan yang dibuat perusahaannya. Menurut dia, teknologi hibrid adalah batu loncatan menuju era kendaraan berbahan bakar fuel cell yang disebut sebagai ultimate eco-car karena sama sekali tidak menghasilkan gas buang. Pada tahun 2002 TMC pertama kali meluncurkan fuel cell hybrid vehicle yang menggunakan hidrogen bertekanan tinggi.

Pengembangan sistem hibrid pada kendaraan bermotor itu mendorong beberapa produsen mobil, baik di Jepang maupun Amerika Serikat antara lain General Motor, untuk menerapkan dan mengembangkannya.

Pada TEF 2008 juga diperkenalkan sistem hibrid plug-in, yang memungkinkan pengisian listrik pada baterai dari litium ketika mobil diparkir. Cara ini memungkinkan penggunaan kendaraan komuter berukuran kecil, yang jarak jelajahnya relatif dekat, 10-15 kilometer.

Penerapan Brown energy yang baru diperkenalkan di Indonesia pekan lalu pun sebenarnya juga merupakan sistem hibrid, yang memadukan BBM dengan BBA (campuran air destilasi dengan soda kue), yang menghasilkan gas hidrogen dan oksigen dari sistem elektrolisa. Sistem tersebut masih dalam tahap proses pengajuan untuk uji kelayakan dan keamanan serta memperoleh SNI. Sementara itu, fuel cell juga telah dirintis beberapa tahun terakhir ini, antara lain di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dengan membuat prototipe skala kecil.

Aplikasi industri

Penerapan sistem hibrid tidak hanya diterapkan pada produk otomotif, tetapi juga pada proses produksi. Di pabrik TMC di Tsutsumi Nagoya, Toyota menerapkan kombinasi pembangkit listrik siklus kombinasi (combine cycle) dan sel surya.

Untuk menghasilkan tenaga listrik dari sistem pembangkit fotovoltaik, Toyota memasang panel-panel sel surya di atap- atap pabrik. Perusahaan otomotif Jepang ini memiliki pabrik seluas 610.000 meter persegi, yang memproduksi enam jenis atau tipe kendaraan. Di pabrik itu ada 12.000 panel surya yang luasnya ekuivalen dengan 60 lapangan tenis, ujar Takeshi Uchiyamada, Executive Vice President TMC.

Dengan menggunakan sistem sel surya fotovoltaik, penggunaan listrik, terutama untuk penerangan di pabrik, dapat dikurangi.

Dalam mengembangkan energi alternatif pengganti BBM, Toyota lebih mengarahkan pada penggunaan energi ramah lingkungan dengan tujuan menekan emisi gas karbon dioksida (CO2). Pada sistem mesin gas kogenerator, sejak September 2004, penggunaan minyak berat telah digantikan dengan gas alam cair—yang juga menggantikan gas petroleum cair (PLG) yang dipakai di semua pabrik.

Dengan penggunaan bahan bakar alternatif itu, pabrik Tsutsumi Toyota dapat mereduksi emisi CO2 tahun lalu secara akumulatif 127.000 ton—lebih dari 51 persen dibandingkan dengan tahun 1990. Reduksi per tahun mencapai 740 ton, ini ekuivalen dengan 1.500 barrel minyak mentah.

Watanabe memproyeksikan, tahun 2010 total industri TMC akan mereduksi CO2 sebesar 30 persen dari tahun 1990—naik dari 25 persen tahun lalu.

Sumber:Yuni Ikawati

http://cetak.kompas.com